Enam Dekade PMII, Adakah Semangat Persatuannya di Serambi Madinah?

PR PMII Dewantara saat berbagi takjil secara gratis pada Jum'at (1/6/2018) Foto: NUlondalo

Penulis : Moh. Rivaldi Abdul

Kader PMII Rayon Dewantara (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Tadris) IAIN Sultan Amai Gorontalo

Konon, ada 2 saudara kembar bertengkar. Mereka mempertengkarkan status anak kandung dari orang tuanya? Yang satu berkata bahwa dia lah anak kandung, sementara yang kembarannya hanya lah anak tiri. Demikian juga kata kembaran yang satu lagi.


Orang tua mereka berusaha mendamaikan. Ibunya berkata bahwa dia melahirkan mereka berdua bersama-sama, sehingga keduanya adalah anak kandung, jadi tak usah bertengkar. Namun, mereka berdua tak mau menerimanya. Hm, contoh anak-anak tak patuh orang tua, kan? Bagi mereka sekarang, lahir boleh dari rahim yang sama, namun status anak kandung hanya milik satu anak saja. Hadeh, dua orang yang amat konyol, kan?


Apa kalian–pembaca–tahu penyebab dari pertengkaran yang amat konyol itu? Penyebabnya adalah harta warisan. Sebab hanya anak kandung lah yang bisa mendapatkan hak harta warisan, sehingga mereka berdua berebut ingin mendapat status anak kandung sendiri. Tak apa menganggap saudara yang lahir dari rahim yang sama bukan sebagai saudara kandung, asal harta warisan dapat dikuasai sendiri.

Hm, ambisi memang sering membutakan akal. Timbangan-timbangan rasional, rasa kemanusiaan, dan ikatan-ikatan persaudaraan, bisa hilang hanya karena ambisi kekuasaan. Dan saat jantung memompa ambisi kekuasaan, ambisi itu mengalir dalam darah hingga naik sampai ke otak, maka konflik lah hasilnya. Tak akan ada persatuan, yang ada hanya lah perpecahan memperebutkan kekuasaan. Ah, perpecahan, hal yang seharusnya menjadi amat tabu untuk sahabat-sahabati saat bergerak mengibarkan biru kuning.


Semua sahabat-sahabati pasti tahu, bahkan tak hanya sekadar tahu, namun juga sangat membanggakan semangat juang PMII, kan? Semangat juang yang dibingkai dalam kalimat “satu barisan dan satu cita”. Semangat juang yang dibingkai dalam kalimat “satu angkatan dan satu jiwa”. Makna 2 kalimat itu sederhana saja: mari kita bina persatuan–mari kita bergerak bersama. Perpecahan dalam organisasi adalah tabu, sebab sahabat-sahabati itu satu angkatan dan satu jiwa.


“Berjuanglah PMII, berjuang!!! Marilah kita bina persatuan....”
“Berjuanglah PMII, berjuang!!! Marilah kita bina persatuan....”
“Hancur leburkanlah angkara murka..., perkokohlah!!! Barisan kita. Siiiap!!!


“Berjuanglah PMII”,  untaian lirik dalam lagu ini seakan mengajak sahabat-sahabati PMII untuk selalu memperkokoh barisan, sebab PMII itu satu barisan dan satu cita.


Syarat kokohnya barisan adalah persatuan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan kokoh, kalau persatuan saja tak punya? Ah, termasuk juga, bagaimana mungkin bisa dikatakan satu angkatan dan satu jiwa, kalau persatuan saja tak punya? Bagaimana sahabat-sahabati?


Pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, kan? Dan saya yakin, sahabat-sahabati mampu menjawabnya. Bahwa, jika sahabat-sahabati tak lagi bersatu, kalimat satu angkatan dan satu jiwa, hanya sekadar bagaikan nyanyian di mulut saja, tak merasuk dalam jiwa semangat juang peregerakan sahabat-sahabati.


Memenangkan sebuah konflik mungkin membanggakan. Namun, lebih membanggakan, jika persatuan terus dapat dijaga. Alasannya sederhana, sebab tak ada pesan-pesan konflik dalam mars PMII yang selalu dinyanyikan dengan penuh kebanggaan. Dalam mars PMII yang ada hanyalah pesan-pesan untuk bersatu dan bergerak. Maka bangga mana, menceritakan kemenangan berkonflik di depan junior, atau mampu menerapkan nilai-nilai juang dalam mars?


Berproses dalam payung yang sama, dan dibaiat dengan baiat yang sama. Namun, karena ambisi kekuasaan, maka jalan sahabat pun jadi beda. Saat masih botak, semangat sekali berkata sahabat-sahabati. Eh, pas sudah gondrong, malah semangatnya berkonflik dengan sesama sahabat-sahabati. Lucu, kan? Mending dibotaki lagi.


Pertanyaan yang amat sederhana, kapankah sahabat-sahabati mau benar-benar bersatu? Memang, alasan mengiginkan kekuasaan begitu rumit, belum lagi ego kemenangan sudah menguasai diri, sehingga jalan persatuan terasa begitu sulit. Saya pun dulu pernah berkonflik. Namun, sesulit apapun jalan itu, tak ada yang tak mungkin, kan? Bisa diatur, kan?


60 tahun biru kuning mengibarkan cahaya di Nusantara. Usia yang dewasa untuk sebuah organisasi. Seharusnya, sebagai anggota maupun kader, kita bisa dewasa pula, tak melulu jadi seperti anak-anak yang selalu mempertengkarkan permen bernama kekuasaan. 60 tahun khidmat PMII untuk negeri. Seharusnya kita bisa merenung, kok di serambi Madinah masalah persatuan tak pernah selesai? Levelnya hanya selalu konflik, tak pernah naik ke level persatuan, apalagi level pergerakan.

Lebih baru Lebih lama